Container Icon

Penginderaan Jauh Kelautan

Penginderaan Jauh Kelautan

Pemetaan Terumbu Karang dengan Satelit Sumberdaya Alam
Pemetaan terumbu karang menggunakan citra satelit sumberdaya alam merupakan alternatif yang dapat dikedepankan dengan melihat kenyataan bahwa pengamatan obyek bawah air dapat dilakukan melalui citra pada kondisi air lautyang jernih dan mempunyai karakteristik yang homogen. Keunggulan dalam hal resolusi spasial, resolusi spektral, dan resolusi temporal juga menjadi alasan utama para ahli untuk menggunakannya. Penggunaan algoritma pemetaanmaterial dasar di perairan laut dangkal dari Lyzenga dan proses contextual editing menghasilkan peta akhir yang akuratif.

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2. Luas laut tersebut masih bertambah sesuai dengan hasil ratifikasi UNCLOS 1982 yang memberikan hak dan kewenangan kepada Indonesia untuk memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2. Wilayah lautan yang luas tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia dengan komponen ekosistem pesisir, meliputi: hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
Salah satu sumberdaya kelautan yang potensial untuk digarap adalah terumbu karang. Indonesia memiliki sekitar 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah perairan Nusantara. Potensi lestari sumberdaya perikanan yang terkandung di dalamnya diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun (Dahuri dkk, 1996). Terumbu karang yang masih utuh juga menampilkan pemandangan yang sangat indah. Keindahan tersebut merupakan potensi wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Pemanfaatan dan pengembangan terumbu karang harus direncanakan melalui sistem manajementerumbu karang yang terpadu. Pada tahap awal, sistem manajemen ini membutuhkan informasi sebaran, tipe, spesies, dan kondisi terumbu karang; yang disajikan dalam bentuk peta.

          Pemetaan terumbu karang memerlukan data yang dapat menggambarkan distribusi spasialterumbu. Metode konvensional pengamatan bawah air dengan cara transek tidak mampu menyajikan informasi luas dan sebaran terumbu. Metode ini juga mengalami kendala sulitnya pengamatan medan akibat ketidakteraturan formasi terumbu. Pada interpretasi foto udara, pengaruh kedalaman perairan tidak dapat dibedakan dengan pengaruh karakteristik dasar perairan, sehingga penampakan terumbu menjadi kurang jelas. Selain itu juga kurang efektif untuk diterapkan pada daerah yang luas. Metode analisa peta navigasi tidak mampu menggambarkan pengamatan secara sinoptik, karena informasi yang dikandungnya hanya berupa simbol-simbol yang diperuntukkan bagi kebutuhan pelayaran.
Berpijak dari permasalahan tersebut, pemetaan terumbu karang menggunakan citra satelitmerupakan alternatif yang dapat dikedepankan dengan melihat kenyataan bahwa pengamatan obyek bawah air dapat dilakukan melalui citra pada kondisi air laut yang jernih dan mempunyai karakteristik yang homogen. Apalagi sejak diluncurkannya Landsat-5 yang membawa sensor Thematic Mapper pada tahun 1984, banyak penelitian di bidang kelautan yang memanfaatkan citra ini. Keunggulan dalam hal resolusi spasial, resolusi spektral, dan resolusi temporal menjadi alasan utama para ahli untuk menggunakannya.

Pemetaan Terumbu Karang dengan Citra Satelit
        Pemetaan terumbu karang dengan satelit sumberdaya alam sebenarnya sudah berkembang sejak lama. Diawali oleh Lyzenga (1981) yang memetakan material penutup dasar perairan North Cat Cay – Bahama dari citra Landsat MSS. Berdasarkan pengamatan in situ dengan foto bawah air, pantulan dasar dapat dibagi ke dalam empat klas, yaitu: batas area bervegetasi, perlapisan Thalasia, pasir karbonat berwarna putih, dan lapisan tak bervegetasi yang keras.
          Penelitian lain dilakukan oleh Khan et al (1992) yang menggunakan pendekatan alternatif rotasi sumbu dengan transformasi komponen utama. Citra hasil transformasi mampu menyajikan habitat utama perairan pantai, yang didominasi oleh dasar perairan berpasir, dasar yang keras, lumpur yang tersusun oleh sedimen halus, serta padang lamun di Teluk Abu Ali – Arab Saudi. Bierwirth et al (1993) menurunkan informasi pantulan substrat di dasar Hamelin Pool, Teluk Shark – Australia Barat daricitra Landsat TM band 1-2-3 dengan teknik penajaman citra. Sedangkan Luczkovich et al (1993) membedakan terumbu karang, padang lamun, dan tipe material dasar pasiran di pantai utara Republik Dominika dengan metode multivariate analysis of variance (MANOVA) terhadap nilai digital tiga saluran tampak Landsat TM.

Algoritma Lyzenga
       Sebenarnya, pantulan dasar perairan tidak dapat diamati secara langsung pada citra satelit karena dipengaruhi oleh serapan dan hamburan pada lapisan permukaan air. Pengaruh ini dapat dihitung, jika pada setiap titik di suatu wilayah diketahui kedalaman dan karakteristik optis airnya. Pada lautan yang luas, sifat optis air dianggap seragam akibat percampuran horisontal, sedangkan kedalaman air sangat bervariasi dan secara umum tidak dapat diketahui pada tempat tersebut. Prinsip ini mendasari Lyzenga (1978) untuk mengembangkan teknik penggabungan informasi dari beberapa saluran spektral untuk menghasilkan indeks pemisah kedalaman (depth-invariant index) dari material penutup dasar perairan. Parameter masukan dalam algoritma ini adalah perbandingan antara koefisien pelemahan air (water attenuation coefficient) pada beberapa saluran spektral. Algoritma ini menyadap informasi material penutup dasar perairan berdasarkan kenyataan bahwa sinyal pantulan dasar mendekati ‘fungsi linier’ dari pantulan dasar perairan dan merupakan ‘fungsi eksponensial’ dari kedalaman.
Jika dasar perairan laut dangkal dapat terlihat, maka dapat dibentuk suatu hubungan antara kedalaman perairan dengan sinyal pantul yang diterima oleh sensor. Rumus yang dijadikan acuan adalah Exponential Attenuation Model. Li(H) = Li? + (Ai - Li?)-2KiH, dimana: Li(H) adalah pantulan pada band i dengan kedalaman H (m), Li? adalah pantulan dari laut dalam pada band i, Ai adalah albedo dasar pada band i, H adalah kedalaman perairan (m), dan Ki adalah koefisien atenuasi air pada band i (m-1).
         Di Indonesia, Siregar (1996) menurunkan algoritma Lyzenga untuk memetakan material penutup dasar perairan laut dangkal di Pulau Serangan, Bali. Metode penelitian yang digunakan adalah operasi penggabungan dua kanal tampak TM1 dan TM2 yang dapat penetrasi ke dalam tubuh air hingga kedalaman tertentu, sehingga dapat digunakan untuk identifikasi obyek di dasar perairan lautdangkal. Citra hasil penggabungan memberikan penampakan dasar perairan laut dangkal yang secara visual lebih jelas dibandingkan dengan penampakan obyek pada dua kanal secara terpisah. Sebagai tambahan, COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) menggunakan metode ini dalam pekerjaan penyediaan informasi luas dan sebaran terumbu karang di seluruh perairan laut Indonesia.

Taman Nasional Laut Teluk Cendrawasih
          Taman Nasional Laut Teluk Cendrawasih terletak tepat pada bagian tengkuk kepala burung Irian. Kawasan konservasi seluas 1.453.500 ha ini membentang dari arah timur Semenanjung Kwatisore sampai ke utara Pulau Rumberpon dengan panjang garis pantai sekitar 500 km. Kawasan ini juga mencakup daerah pesisir pantai dan terumbu karang Pulau Wairundi, serta delapan belas pulau dalam rangkaian Kepulauan Auri.Penulis melakukan penelitian di rangkaian Kepulauan Auri dalam kawasan TN Laut Teluk Cendrawasih, yang ekosistem terumbu karangnya mulai terancam. Metode penelitian yang digunakan adalah pengolahan citra digital dan survei lapangan. Pengolahan citra digital dimaksudkan untuk mendapatkan citra baru yang dapat digunakan untuk identifikasi material penutup dasar perairan laut dangkal dengan operasi penggabungan dua kanal tampak berdasarkan algoritma Lyzenga. Survei lapangan dilakukan pada transek sampel untuk mengukur bentuk pertumbuhan (lifeform) dan menghitung persen penutupan karang hidup.
Data primer yang digunakan adalah citra digital Landsat Thematic Mapper baris/kolom: 104/062 dan 105/061-062 band 1-2-4-5 dengan tanggal perekaman 3 Nopember 1997, yang diperoleh dari LAPAN. Penggunaan dua kanal tampak TM1 (0,45–0,52 ?m) dan TM2 (0,52–0,60 ?m) berkaitan dengan karakteristiknya yang mampu penetrasi ke dalam tubuh air. Band 4 berguna untuk membatasi daratan dan lautan. Band 5 digunakan untuk menyusun citra komposit warna RGB541, sehingga memudahkan dalam penentuan titik kontrol medan pada proses koreksi geometri citra. Pengolahan data digital memanfaatkan perangkat lunak pengolah citra ER Mapper versi 5.5 di bawah sistem operasi Windows.

          Penggunaan dua kanal tampak TM1 dan TM2 sebagai masukan mengharuskan adanya pemilihan daerah pada citra yang mempunyai nilai pantulan yang homogen, sehingga didapatkan korelasi yang tinggi pada pembuktian linier. Masalah ini dapat diatasi dengan pemilihan training area dengan harapan hasil regresi liniernya dapat mewakili koefisien pelemahan air. Metode ini juga dapat mensubstitusi ketiadaan spektroradiometer dalam pengukuran atenuasi air secara in situ melalui iterasi nilai pantulan pada training area di monitor komputer. Pemencaran data yang menunjukkan keseragaman nilai pantulan dapat diketahui dengan menghitung variansi dan kovariansi. Kelemahan cara ini direduksi dengan meminimalkan jarak tegak lurus dari nilai pendekatan yang digunakan terhadap garis regresi.
Operasi penggabungan dua kanal tampak TM1 dan TM2 mengikuti formula baku, yang penulis turunkan ke dalam persamaan aplikatif dengan memasukkan hasil perhitungan parameter koefisien pelemahan air. Untuk daerah penelitian diperoleh nilai KTM1/KTM2 = 0,683 m-1. Citra hasil penggabungan dinilai lebih menampakkan kejelasan penutup dasar perairan laut dangkal dibandingkan dengan penampakan visual pada masing-masing saluran secara terpisah.
          Klasifikasi material penutup dasar perairan laut dangkal dilakukan dengan pemilahan tingkat kecerahan, yaitu dengan memilah julat kecerahan menjadi beberapa interval yang diasumsikan menunjukkan material penutup dasar tertentu. Pemetaan akhir material penutup dasar perairan lautdangkal divalidasi dari data pengamatan dan pengukuran lapangan secara in situ pada lokasi sampel yang ditentukan dengan metode transek garis memotong untuk penginderaan jauh. Transek garis memotong adalah salah satu metoda penelitian yang digunakan untuk menghitung komunitas benthos pada suatu ekosistem terumbu karang. Komunitas benthos dihitung berdasarkan bentuk pertumbuhan, misalnya: Acropora Brancing (ACB), A. Encrusting (ACE), Heliopora (CHL), Algal Asemblage (AA), dan lain-lain. Kategori lifeform dicatat pada papan data (slate) oleh penyelam yang berenang sepanjang garis yang dibentangkan sejajar dengan puncak terumbu pada kedalaman 3 m dan 10 m.
Pada metode transek garis memotong untuk penginderaan jauh, garis transek ditarik secara melintang tegak lurus terhadap garis bantu dan diletakkan pada setiap klas sementara hasil klasifikasi yang terpotong garis bantu. Garis bantu dibentangkan dari tubir dengan kedalaman maksimal yang masih dapat diidentifikasi pada citra ke arah garis pantai secara tegak lurus. Panjang garis transek adalah 100 meter dengan pembagian 2 x 50 meter bersebelahan terpisah garis bantu. Ploting garis transek dapat dibantu dengan GPS.
Pada setiap lokasi sampel dilakukan kegiatan pengukuran lifeform dan pengukuran karakteristik fisik air laut. Penentuan klasifikasi akhir juga didukung oleh data sekunder penunjang berupa data iklim, data oseanografi, dan data batimetri. Pemetaan akhir berupa peta kondisi terumbu karang dihasilkan dari peta material penutup dasar perairan laut dangkal, dimana pada klas penutup dasar yang didominasi terumbu diperinci lagi ke dalam klas-klas baru dengan menilai kondisinya. Penilaian kondisi terumbu karang dilakukan berdasarkan data persentase penutupan karang hidup dengan mengacu ketentuan Gomes (1984) dengan klasifikasi: kondisi rusak (penutupan karang hidup 0 – 24,9 %), kondisi sedang (25 – 49,9 %), kondisi baik (50 – 74,9 %), dan kondisi sangat baik (75 – 100 %).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan terumbu karang dengan kondisi sangat baik hanyalah di sekitar Pulau Nuburi. Sebagian besar terumbu karang masih dalam kondisi baik, yang bisa ditemukan di P. Wairundi, P. Nusambier, P. Matas, Tridacna Atoll, P. Kabuai, P. Kumbur, P. Nutabari, dan P. Pepaya. Kerusakan yang parah ditemukan di P. Rumwakon, P. Iwari, dan P. Rorebo; dimana persentase penutupan karang hidup kurang dari 30%.

Efektifitas
        Pemanfaatan citra satelit sumberdaya alam dirasakan sangat menguntungkan untuk kegiatanpemetaan,     pemantauan, dan manajemen lingkungan terumbu karang yang sangat luas. Maritorena (1996) telah membuktikan hal ini di Polynesia Prancis, dimana daerah penelitian terdiri dari sekitar 120 pulau yang tersebar merata di atas 2,5 juta km2 Samudera Pasifik bagian selatan. Citra Landsat TM yang mempunyai luas liputan 185 x 185 km2 dengan resolusi spasial 30 meter dan resolusi temporal 16 hari, sangat efektif untuk tujuan pemetaan yang tidak terlalu detil.
         Demikian juga dari segi biaya dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan. Estimasi dari CSI (Coastal Regions and in Small Islands) menunjukkan bahwa untuk melakukan pemetaanterumbu karang Kep. Caicos seluas 150 km2 diperlukan biaya (termasuk pengadaan fasilitas pengolah citra dijital) sebesar: £33.570 untuk Landsat TM, £33.020 untuk SPOT XS, £57.620 untuk CASI, dan £47.120 untuk interpretasi Foto Udara. Sedangkan waktu yang diperlukan berturut-turut adalah 98, 97, 117, dan 229 hari. Ternyata penggunaan citra satelit membutuhkan biaya yang paling rendah dan waktu pengerjaan yang lebih cepat.
     Untuk tujuan pemetaan detil pada daerah yang tidak terlalu luas, CASI (Compact Airborne Spectrographic Imager) menjadi alternatif utama yang dipakai sekarang ini. Hal ini disebabkan karakteristik pantulan spektral beberapa kenampakan di lingkungan terumbu karang secara optis hampir mirip. Misalnya obyek laut dalam, substrat karang sehat, dan dasar berpasir hitam sama-sama mempunyai rona gelap. Oleh karena itu, diperlukan sensor dengan resolusi spektral yang tinggi (hyperspectral) seperti halnya pada CASI atau pada satelit Orbview3 dan Ikonos2 yang mempunyai resolusi spasial 1 – 8 meter untuk membedakannya. Malahan perkembangan terakhir telah dan sedang dalam rencana peluncuran beberapa satelit hiperspektral beresolusi spasial tinggi, yaitu: ARIES milik Australia, SPOT-5 milik Prancis, dan AVNIR2 milik Jepang yang diluncurkan pada tahun 2002.
         Pemetaan terumbu karang menggunakan citra satelit tidaklah tanpa keterbatasan. Berdasarkan teori radiative transfer, kemampuan penetrasi panjang gelombang tampak biru pada kedalaman 20 meter hanya sekitar 60% (Engman and Gurney, 1991). Oleh karena itu, pada penelitian ini, pemetaanterumbu karang dengan citra satelit hanya dibatasi sampai kedalaman 10 meter, daerah-daerah yang agak datar, dan daerah dengan kemiringan yang masih dapat dikoreksi dengan batimetri. Pemetaanterumbu di daerah lereng terumbu (reef slope) dilakukan dengan asumsi persentase tutupanterumbu karang daerah lereng atas (reef crest). Sedangkan pada lingkungan terumbu yang membentuk dinding hampir tegak, hanya dilakukan pengamatan sampai kedalaman 10 meter. Selebihnya dilakukan asumsi terhadap persentase tutupan terumbu karang drop off sampai kedalaman 10 meter.
        Keterbatasan juga dialami pada pencitraan terumbu karang di perairan yang keruh. Sifat optis air jelas dipengaruhi oleh keberadaan partikulat organik dan anorganik serta material terlarut. Spitzer dan Dirks (1987) mengemukakan bahwa kekeruhan akan berpengaruh terhadap sifat pantulan dasar perairan dangkal yang menjadi lebih besar dibandingkan pada perairan dalam. Alasan ini menjadikan perlunya modifikasi metode Lyzenga, sehingga dapat diterapkan untuk pemetaan zona perairan pantai yang dicirikan oleh gradien horisontal kekeruhan air. Tassan (1996) telah melakukannya untuk mendeteksi alga makro di perairan P. Tahapoto di Samudera Pasifik bagian selatan.

Penutup
Terlepas dari keterbatasan yang ada, pemetaan terumbu karang dengan satelit sumberdaya alam merupakan cara yang paling efektif untuk diterapkan di Indonesia dengan pertimbangan luasan yang harus dipetakan, biaya dan waktu yang dibutuhkan, serta tingkat kedetilan informasi yang diharapkan. Berkaitan dengan akurasi hasil pemetaan, penggunaan algoritma Lyzenga dalam proses penajamancitra menjadikan peta akhir mempunyai akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses penajaman biasa hasil eksekusi perangkat lunak. Apalagi jika ditambah proses contextual editing yang dapat meningkatkan akurasi sampai 17 persen pada pemrosesan citra satelit.

                                                                                                    Sumber : http://sutikno.org/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Apa pendapatmu??^^

B_E_T_Z